Sekitar 20 tahun lalu, senior saya Victor Menayang (alm), menegur, “Lu jangan nyalahin para perambah hutan untuk kegagalan program.”
Saya tanya, “Emang kenapa, mas?”
Dia orang Manado tapi antarkolega di kampus semua senior dipanggil mbak atau mas atau bang. Yang tua pun demikian. Kecuali beberapa yang jaim.
“Kita ini urusannya komunikasi, bukan polisi.”
Dia memberi bahan bacaan yang membantu saya menata ulang pikiran.
Waktu akhirnya membuat saya lebih tersadar. Seperti tenaga penjual yang (idealnya) memposisikan pelanggan sebagai raja, demikian pula dengan urusan komunikasi perubahan perilaku. Jangan berpikir tidak berhasilnya komunikasi adalah karena orang-orang yang kita sasar itu bebal, keras kepala, tidak mau diajak kerjasama, apalagi jahat.
Mengapa demikian?
Karena begitu kita menimpakan kesalahan pada khayalak sasaran, maka berhentilah semangat memahami masalah komunikasi (perilaku lebih lanjut) dan memperbaiki upaya kita.
“Ibu-ibu itu bodoh sekali ramai-ramai belanja baju di tengah wabah begini. Tak punya otakkah mereka? Bodoh kali mereka tidak mengikuti pesan yang disampaikan pemerintah!” Dan lain-lain.
Begitu berpikir khalayak salah, kita lupa melihat diri. Padahal, bisa saja yang terjadi karena kelemahan program. Perumusan pesan yang tidak pas. Saluran yang tidak optimum dan lain-lain.
Kalau melihat ke diri sendiri, kita tidak akan berhenti pada kondisi perilaku saat ini dan justru berusaha memahami lebih mendalam. (Ibu-ibu berdesakan beli baju anaknya).
1. Mungkin mereka sudah menabung setahun untuk membeli baju? Jadi ini satu-satunya kesempatan?
2. Jangan-jangan orang tua yang tidak bisa membelikan baju anaknya dianggap orang tua yang menelantarkan anak? Atau miskin?
Dugaan-dugaan itu perlu dicarikan buktinya di lapangan (atau bisa juga mencari penjelasan di lapangan tanpa dugaan). Dan setelah memahami yang sesungguhnya terjadi, kita bisa merevisi rumusan pesan.
Ngarang-ngarang saja, siapa tahu konsep pesannya seharusnya seperti di bawah.
1. Sabar, bu diskon setelah PSBB lebih besar dibandingkan diskon lebaran ATAU
2. Kalau Anda kena virus corona, bagaimana nasib anak Anda? Siapa yang mengurusi mereka?
“Jangan berpikir khalayak salah” sebetulnya bukan cuma urusan program semata. Komunikasi perubahan perilaku dalam keseharian pun sebaiknya menggunakan prinsip itu. Komunikasi dengan anak, suami, istri, tetangga, siswa dll. Dengan begitu kita tidak akan patah semangat ketika satu upaya belum menunjukkan hasil dan justru mencari tahu apa yang harus diperbaiki.
—————————————————————————-
Catatan: Mungkin ada rekan yang membaca postingan sebelumnya — Waktunya komunikasi ofensif untuk COVID-19? – dan merasa ada kontradiksi. Bukankah model komunikasi ofensif itu bisa menyalahkan atau bahkan melaknat orang? Penjelasannya mudah. Tulisan Jangan Salahkan Khalayak adalah masalah sikap/mental kita. Kalau hasilnya harus model ofensif ya tidak apa-apa. Tapi dengan model ofensif sekalipun, kalau pun gagal, sikap/ mental kita tidak menyalahkan khalayak.
