Takut covid tapi tak pakai masker

Ada kawan cerita, di suatu daerah orang yang pakai masker diteriaki kafir. Tapi begitu ada warga yang positif, masyarakat jadi parno.

Waktu webinar tentang stigma bersama Promkes Kemenkes, sekitar Juli, cerita serupa dibagi seorang narasumber. Dia menemani anaknya, yang berkebutuhan khusus, karantina di Wisma Atlit. Dianya sendiri negatif. Selesai karantina, pulang rumah, yang pertama kali dijumpai adalah pagar rusak. Yang mengagetkan, saat belanja ke warung, orang-orang yang tadinya berkumpul (berdekatan tanpa masker) langsung ngibrit. Si ibu warung pun buru-buru pakai masker.

Aneh? Paradoks?

Tak jaga jarak atau pakai masker, tetapi begitu ada kasus malah heboh, ketakutan, dan memberi stigma.

Teorinya kan kalau seseorang takut, maka dia akan hati-hati dan mengikuti protokol.

Teori tidak berlaku? Ada apa ya?

Apakah perilaku-perilaku pencegahan (3M) sulit dilakukan?

Agak mengganggu, iya, tetapi sulit, rasanya tidak. Buktinya, si ibu warung buru-buru pakai masker.

Atau mungkin tidak dianggap manjur sehingga mereka mengabaikan?

Juga tidak, karena mereka menjauh (jaga jarak) dari orang yang dianggap bawa virus.

Dua  aspek itu adalah dimensi perceived efficacy (perilaku mampu dilakukan dan dipandang manjur). Kalau tidak berkenaan dengan dua hal itu, apa masalahnya?

Dari awal ada dugaan kuat bahwa warga tak memiliki fondasi pemahaman yang benar sehingga mudah termakan hoaks atau ikut menyuburkan stigma. Belakangan, survei UNICEF/ Nielsen di 6 kota besar (September) sedikit banyak mengonfirmasi.

Orang memang takut. Makanya, 70% responden mengaitkan corona dengan kata-kata seperti bahaya, menular, darurat, mematikan, menakutkan, mengkhawatirkan, wabah, trauma, sedih, korban, merah. Namun begitu, hanya 30% yang dilaporkan patuh (jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan pakai sabun).  

Kesenjangan rasa takut dan perilaku bisa dikaitkan dengan pengetahuan. Survei menemukan 10% saja yang memiliki pengetahuan komplit tentang cara penularan virus. Bahkan, 70% bilang virus menular hanya saat orang batuk atau bersin. Mereka tidak tahu kalau virus dapat menyebar keluar cukup dengan bicara atau bernafas. Ini jadi ciri-ciri praktis penuntun perilaku. Jadi, semisal ada kawan yang tidak batuk atau bersin, berarti kawannya sehat dan tidak menularkan virus. Maka, tak perlu jaga jarak atau pakai masker dengan kawan yang kelihatannya sehat itu. Tapi jika kawannya positif, rasa takut menyeruak keluar. Maka, menjauhlah atau yang menyedihkan, diusir pula kawan itu.

Jadi, jangan-jangan fondasi pengetahuan warga yang selama ini kurang diperhatikan. Butuh investasi waktu dan tenaga memang untuk edukasi warga yang benar tapi nanti dampaknya bagus, kok.

Satu pemikiran pada “Takut covid tapi tak pakai masker”

  1. Kejadian seperti itu masih berlaku sampai sekarang, tadi zuhur saya sholat jama ah di musholla, ada 12 jama ah yg pakai masker cuma saya doang bahkan shafnya sudah tidak berjauhan, kaki ketemu kaki waduh kapok saya sholat di musholla itu lagi

    Balas

Tinggalkan komentar