Sewaktu disuruh menemui Firaun, Nabi Musa, dipandu sbb.
“Pergilah kamu berdua ke pada Firaun. Sesungguhnya ia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut. Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS Thaha: 43-44).
Dalam perspektif komunikasi, bicara dengan kata-kata lembut, terutama kepada orang yang berkedudukan atau berpendidikan lebih tinggi (apalagi yang bersikap sombong), mengandung strategi jitu.
Pertama, peluang pesan kita diterima lebih besar. Saat lawan bicara memiliki posisi lebih tinggi (pendidikan, usia, status sosial ekonomi, pangkat, dll.) tapi tidak memiliki sikap terbuka atau mau mendengarkan pada pihak yang di bawahnya, maka acapkali dia bereaksi pada siapa yang bicara ketimbang isi pesannya.
Bertutur lembah lembut termasuk komunikasi yang berusaha tidak menonjolkan komunikatornya. Harapannya, pesan yang disampaikan bisa menembus barikade atau pagar kesombongan lawan bicara.
Ini yang diistilahkan Adam Grant sebagai the power of powerless communication. Kekuatan dari komunikasi yang tidak berkekuatan. Saat berusaha menonjolkan diri dihadapan orang-orang yang berkedudukan lebih tinggi, kita sebetulnya tengah mengusik “posisi” mereka. Akibatnya, orang-orang itu justru akan menganggap remeh atau malah meremehkan bahkan sebelum pesan tersampaikan.
Tapi kalau pembawaan kita rendah hati dan respek pada kedudukan mereka, kita justru bisa menarik perhatian mereka. Peluang penerimaan pesan-pesan kita pun lebih terbuka. Sifatnya naluriah saja.
In sejalan dengan hadist, tiada seseorang yang berendah hati karena Allah melainkan dimuliakan.
Kedua, bicara dengan kata-kata lembut justru membuat komunikator lebih nyaman. Kalau kita bicara dengan menonjolkan diri, “Ini lho saya!” “Saya yang paling benar!”, maka sebetulnya kita sedang meletakkan hambatan komunikasi pada diri sendiri.
Kala kita berusaha menunjukkan diri tidak kalah atau malah lebih hebat dari lawan bicara, kita akan terbebani. Karena harus terdengar hebat. Kelihatan hebat. Tidak boleh salah. Jadinya kurang rileks. Kurang lihai berkata-kata. Jadi tidak keluar semua ide-ide yang terpikirkan. Malah, jangan-jangan jadi gelagapan
Tapi kalau menganggap diri sebagai pihak tidak menonjol (dalam pengertian yang positif), misalnya orang yang ingin belajar dari lawan bicara, maka beban mental berkomunikasi akan berkurang. Komunikasi jadi lebih mudah.
Singkatnya, berkata lemah lembut pada orang yang berkedudukan tinggi bukan berarti bersikap mengalah, tapi justru sedang berkomunikasi secara lebih efektif.

Al qur’an dan hadits perspektif komunikasi luar biasa pa risang, akan saya coba praktekan dimana saya berada pa tapi ini kayanya butuh waktu lama ya …..