“Di rumah aja”
“Jaga jarak lebih dari 1-2 meter dengan siapapun”
“Pakai masker”
“Cuci tangan pakai sabun selama minimal 20 detik”
“Jangan usap wajah”…..
Di atas adalah pesan-pesan yang sering kita dapatkan dari media sosial atau pun media massa konvensional, seperti TV. Pesan-pesan itu juga kita sampaikan ke orang di rumah.
Apakah pesan-pesan di atas merupakan pesan komunikasi?
Bila pesan-pesan itu berdiri sendiri alias cuma begitu saja, maka belum bisa dikatakan sebagai pesan komunikasi atau yang kadang disebut sebagai pesan kunci.
Agar disebut sebagai pesan kunci, perlu bergabung dua komponen, yaitu bagian pertama: pesan teknis dan bagian kedua: pesan sumber motivasi.
Pesan teknis berkenaan dengan perilaku yang diharapkan (di rumah saja, jaga jarak, cuci tangan pakai sabun dll.). Sumber motivasi berbicara tentang pesan yang mempengaruhi perubahan perilaku.
Semisal, Cuci tangan pakai sabun atuh kasep (bagian kedua: self image. Kasep = ganteng)
Jaga jarak 2 meter kalau ga mau mati sesak napas (bagian kedua: perceived risk)
Ada kawan yang menanggapi, “Ah, saya sih ga usah pakai sumber-sumber motivasi. Ke anak, saya tinggal bilang, sana cuci tangan pakai sabun dulu. Adik, mandi. Cukup, kok.”
Minta cuci tangannya bagaimana? Pakai mata mendelik?
Kalau iya, sebetulnya Anda sudah menggunakan bagian kedua (ronanya seperti perceived risk: “Kalau ga cuci tangan pakai sabun, awas lho!”).
Jadi bagian kedua, pesan sumber motivasi, tidak selalu harus eksplisit. Bisa implisit dan indirect. Yang penting ditangkap oleh khalayak.
Bagaimana kalau tidak pakai mendelik, melotot, alias datar saja. Cuci tangan pakai sabun. Jaga Jarak. Di rumah saja.
He he he emang kita robot? Tinggal masukkan skrip lalu bergerak seperti yang dikehendaki.
Intinya kedua bagian itu harus ada dalam sebuah pesan. Pertanyaan sekarang menjadi, apa pesan sumber motivasi yang pas? Manfaat? Manfaat apa yang perlu diangkat? Pentingnya suatu perilaku (nilai)? Perasaan tertentu? Kekhawatiran? Rasa tidak enak? Jijik? Atau angkat citra diri saja? Dukungan sosial (rame-rame mendukung perilaku)? Atau apa?
Nah, di sini pentingnya sedikit-sedikit menguasai teori. Wawasan teoritis dapat membantu kita mengidentifikasi “tombol yang pas” untuk perubahan perilaku. Kita bahas di tulisan berikutnya ya.
Penasaran dengan teori-teorinya.. supaya bisa tekan “tombol yang pas”, karena di lapangan banyak sekali model manusianya. Terimakasih telah berbagi ilmunya.
betul2…di lapangan memang banyak model manusianya. tinggal kita sensitif saja, dengan mendengarkan dan baca komunikasi nonverbal, kira2 yang pas yang mana. nanti saya cicil2 di situs teori2nya. terimakasih menyampaika komentar kak/bang Indra…pertamax ini…