Terimakasih untuk cerita pengalaman COVID-19

Sesuai teori, pemunculan angka-angka kasus COVID-19 yang sesungguhnya kian membesar menjadi kian tak bermakna. Padahal hari-hari terakhir angkanya tidak kurang dari 7000. Tertinggi di kawasan. Tapi tak lagi jadi magnet perhatian orang. Tak lagi menakutkan. Jangan-jangan tak lagi memotivasi.

Orang memang akan lambat laun kehilangan rasa takut pada suatu masalah yang sifatnya kronis. Yang tidak meledak dalam satu waktu sekaligus tapi pelan-pelan. Untuk penyakit, orang awam bilang, menahun.

Di awal tahun, mendengar prediksi puluhan ribu orang Indonesia akan kena COVID-19, berdiri bulu kuduk. Takut. Ketika kasus positif beneran muncul, berdiri bulu kuduk. Tapi rasa takut berkurang dari hari ke hari seiring penambahan kasus. Berbanding terbalik. Saat satu digit, rasa takut masih tinggi. Dua digit, berkurang; dan sekarang 3 digit, berkurang lagi.

Padahal rasa takut itu (asal diseimbangkan dengan persepsi positif terhadap perilaku-perilaku pencegahan) merupakan sumber motivasi perubahan perilaku. Kalau tidak ada rasa takut (tertular dan merasakan pedihnya COVID-19), maka orang tak akan termotivasi melakukan perilaku-perilaku pencegahan.

Lalu bagaimana caranya agar rasa takut itu tetap ada? (Sementara, di saat yang sama, orang percaya akan keampuhan perilaku 3M untuk mencegah penyakit dan merasa mampu melakukannya).

Kita perlu pindah ke cerita.

Sesuatu yang bisa dibayangkan. Dirasakan. Berada di sekitar kita. Dari beragam orang, termasuk orang-orang yang mirip kita.

Cerita-cerita nyata. Detail. Hidup. Tentang orang-orang yang terkena COVID-19. Pengalaman menyedihkannya. Kesengsaraan. Akhir yang tragis. Pelajaran yang dipetik.

Ataupun, cerita mengenai semangat hidup. Perjuangan. Cerita-cerita heroik. Cerita-cerita yang bervariasi.

Cerita-cerita itu yang menginspirasi. Memberi pelajaran yang menggugah. Baik agar berdisiplin selalu menjaga jarak, pakai masker dan cuci tangan pakai sabun. Maupun untuk tetap bersemangat berjuang selamat dari COVID-19.

Dan tak ada cerita sebaik dari tangan pertama. Orang-orang yang mengalaminya atau melihat langsung.

Karena itu, kita perlu berterimakasih pada mereka yang mau bercerita. Mengisahkan pengalamannya. Menunjukkan wajah atau bahkan profil dirinya, yang bukannya tanpa risiko.

Cerita-cerita mereka itu yang sekarang dapat merubah perilaku masyarakat. Bukan angka atau teori-teori lagi.

*Foto: Dok Li Wenliang. Pengungkap wabah virus corona.

Tinggalkan komentar