Komunikasi Vaksin: Persuading others to avoid persuasion

Pagi-pagi sejumlah rekan di beragam WAG mem-post informasi berbeda tentang vaksin. Ada artikel berita, jurnal, dan video. Pertanyaannya sama, “Benar ga sih?”

Waduh, beberapa minggu terakhir ini serangan hoaks atau misinformasi tentang Vaksin COVID-19 mulai gencar. Saya bertanya-tanya, kemana ini inoculative communication?

Sederhananya, seperti judul artikel ini, inoculative communication adalah persuading others to avoid persuasion. Judul ini saya jiplak dari judul artikel Josh Compton dkk (2016), yang konsep dan teorinya pun saya pinjam untuk artikel ini.

Sederhananya, inoculative communication itu mirip inoculation (= vaksinasi). Vaksinasi, khususnya metode yang akan digunakan untuk COVID-19, adalah memasukkan virus yang dilemahkan sehingga imunitas (para pendekar tanah air) dapat mengenal dan mengalahkannya. Sehingga, ketika ada virus corona betulan yang masuk ke tubuh, maka para pedekar kesehatan tubuh sudah hafal jurus-jurusnya dan mampu mengalahkannya.

Inoculative communication juga sama, yaitu mengenalkan warga dengan serangan informasi hoaks yang bisa merubah sikap mereka dan menyajikan argumen yang melemahkan informasi itu. Sehingga, bila nanti informasi hoaks datang, warga sudah ngeh “Ah, ini kan yang dulu diwanti-wanti. Dan itu kelihatan ga masuk akalnya informasi itu!”

Wal hasil, warga jadi terlindungi dari serangan-serangan hoaks yang bisa menyesatkan.

Ada dua komponen dalam inoculative communication, yaitu threat (ancaman) dan refutational preemption. Threat itu mengenalkan pada seseorang bahwa posisi atau sikapnya rentan berubah.

“Ibu sekarang sudah paham dan yakin akan manfaat vaksin COVID-19 untuk melindungi diri dan keluarga. Tetapi sebentar lagi nih, ada pihak yang coba mengganggu keyakinan dan bahkan menyesatkan supaya ibu tidak mau divaksin sehingga membahayakan keselamatan ibu dan keluarga.  Dikatakan bahwa vaksin COVID-19 merubah gen ibu dan membuat ibu lebih lemah terhadap virus. Yang menyebarkan informasi itu memanfaatkan media sosial yang kemudian disebarluaskan kembali oleh kawan-kawan atau keluarga sendiri melalui WAG. Sikap orang bisa berubah karenanya.”

Sementara, refutational preemption maksudnya adalah lebih dulu menunjukkan kepalsuan/ kelemahan suatu informasi sebelum informasi itu datang beneran. “Katanya vaksin COVID-19 bisa merubaha gen kita secara permanen yang mengakibatkan kekebalan tubuh kita hancur dan tidak mampu melawan COVID-19. Informasi itu jelas menyesatkan. Vaksin COVID-19 yang kita gunakan itu adalah virus yang dilemahkan agar bisa dipelajari dan dihafal jurusnya oleh pendekar tanah air penjaga kesehatan tubuh. Virus lemah yang masuk itu akhirnya justru dibunuh. Lagi pula, mana ada virus bisa merubah gen kita. Kita sering kemasukan virus flu, apa iya susunan gen kita berubah, jadi lebih lemah terhadap flu?”  (Maaf, ini argumen orang komunikasi ya).

Kabar baiknya, tidak seperti vaksinasi betulan yang membutuhkan vaksin spesifik untuk penyakit tertentu, menurut riset, vaksin komunikasi bisa menjadi sapu jagad atau satu pesan untuk melindungi dari beragam hoaks. Ya, orang kan jadi lebih sadar bakal ada hoaks atau informasi menyesatkan sehingga dia lebih hati-hati dan bahkan mudah menolak hal yang belum jelas.

Jadi, mana nih vaksin komunikasi untuk tangkal hoaks? Mesti nyebar duluan sebelum Vaksin COVID-19 datang.

Tinggalkan komentar