Corona sudah dua tiga langkah lebih maju dari intervensi perubahan perilaku. Ketinggalan. Kabar sejumlah edukator lapangan menunjukkan ketinggalan yang lumayan jauh.
Edukator di sejumlah daerah di Jabar, NTB, dan Papua melaporkan norma negatif mulai berkembang. Orang yang pakai masker diolok-olok. Dilihatin. Di satu daerah, rekan edukator bahkan tidak bisa pakai masker saat bekerja ke komunitas saat memberi imunisasi.
“Warga marah melihat orang pakai masker. Kamu tidak beriman?!? Nanti dibilang begitu”
Seharusnya yang muncul itu norma pakai masker alias orang yang tidak pakai masker justru yang merasa tidak nyaman, dipelototin atau ditegur. Tapi upaya komunikasi perubahan perilaku rupanya tidak diarahkan ke sana dan hanya berkutat di itu-itu saja.
Seorang rekan sempat bertanya, “Emang bisa kita rekayasa norma?”Ya, bisa dong. Teorinya ada. Praktiknya juga banyak. Tidak usah jauh-jauh. Rekan-rekan yang suka pakai CLTS (Community Led Total Sanitation) atau di lokal di sebut STBM sering menargetkan perilaku dari aspek norma.
Nasi mulai jadi bubur. Mumpung belum beneran, apa bisa dilakukan?
Input dari perspektif komunikasi perubahan perilaku: gunakan model-model nondirective. Bahasa gampangnya, jangan petantang-petenteng bilang ini yang benar dan itu salah. Jangan konfrontatif. Jangan menggurui. Ga usah mengajari.
Dari model ideational communication-nya JHU/CCP ada beberapa taktik yang bisa dicoba:
dialog (termasuk yang one-to-one seperti konseling),
edutainment (education entertainment), dan
social network.
Wah teori, nih?
Iya, tapi tak usah silau.
Orang Indonesia jaman dulu sudah lihai menerapkannya. Sunan Kalijogo menggunakan seni lagu, wayang, ukir dan lainnya untuk komunikasi perubahan perilaku. Lagu-lagunya masih hidup sampai sekarang. Itu Lir Ilir atau Gundul-gundul pacul.
Orang-orang suka sama lagunya lalu secara tidak sadar atau lama-lama jadi menerima pesannya.
Gunakan social network? Maksudnya, yang maju mengedukasi bukan para edukator tapi orang berpengaruh pada warga.
Wah, itu sih bukan jagonya lagi. Lobi bukan sekedar ngemeng-ngemeng, kalau perlu anaknya pun dinikahin.
Dialog? Mangan ora mangan yang penting ngumpul. Itu salah satu contoh.
Persoalannya, kita sekarang mau menerapkannya tidak? Atau mau tetap gaya yang eksplisit, konfrotatif?
Kadang masalahnya bukan keterampilan. Tapi masalah sikap mental. Mau belajar budaya lokal, ga? Mau berendah hatikah? Mau duduk bersama saling menghargaikah?
Kalau ga mau, ya susah.
