Ketidakpatuhan sebagian besar warga pada protokol kesehatan sebetulnya bisa ditarik menjadi kegagalan kepemimpinan komunikasi. Saat wabah melanda pemimpin mestinya tampil menunjukkan kecakapan komunikasi yang menginsiprasi dan memotivasi warga. Membuat tenang saat warga panik. Menyemangati waktu mulai kelelahan. Atau menggambarkan jalan keluar saat kebingungan melanda. Termasuk, mengajak warga selalu menjaga jarak, pakai masker, dan sering cuci tangan pakai sabun.
Sebagai komunikator, pemimpin tak perlu marah-marah melihat warga masih empel-empelan atau tidak pakai masker. Justru mereka harus introspeksi diri meriviu praktik komunikasi selama ini.
Sambil berharap perubahan, ada baiknya kita memperhatikan kepemimimpin komunikasi di dalam keluarga, yang perlu diselamatkan dari wabah ini.
Bagaimana komunikasi pemimpin yang penting untuk mempengaruhi keluarga?
Buku kecil berjudul The Power Paradox: How we gain and lose influence dari Prof Keltner memberi pesan yang sebetulnya telah lama dipraktikkan orang-orang terdahulu dan bahkan menjadi strategi komunikasi kitab suci.
Bercerita (story telling) merupakan kecakapan yang penting dikuasai pemimpin. Dengan bercerita kita bisa menarik minat orang. Cerita inspiratif menolong orang yang tertekan akibat pandemi bergerak mencari jalan keluar. Cerita membangun kebersamaan menghadapi wabah.
Karena itu pula Yang Maha Pencipta merumuskan kebanyakan pesan-Nya dalam bentuk cerita-cerita atau kisah-kisah. Yang membangun, kata orang radio, theatre of mind atau semacam film di kepala.
Bagaimana pula surga neraka bisa membuat orang merubah perilakunya kalau disampaikan begini:
Surga adalah tempat bagi orang yang kebaikannya lebih banyak dibandingkan kejahatannya. Neraka adalah tempat bagi orang yang kejahatannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya. Sekedar konsep.
Agar menakutkan sehingga memotivasi, neraka disampaikan dengan cara yang bisa dibayangkan. Misalnya tentang neraka,
“Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah.”
Rumusannya: yang bisa dibayangkan, bisa dirasakan. Yang bisa dirasakan, bisa memotivasi.
Singkat kata, kita tidak bisa merebut hati dan memotivasi anggota keluarga hanya dengan menyuruh-nyuruh. “Lakukan ini, lakukan itu!” Apalagi hanya menunjukkan angka-angka.Terlebih lagi kalau disampaikannya sambil mata terus membaca-baca catatan (atau telepromter).
Cem mana anggota keluarga akan tergerak? Orang berpikir kita belum menguasai, bagaimana pula orang akan percaya? Apalagi tanpa kontak mata, wajah dan suara datar. Pasti hilang itu kekuatan nonverbal yang konon menyampaikan 65% dari total pesan.
Bercerita itu konstruksinya berbeda dengan memberi instruksi. Ada lakon, panggung/ setting, plot atau alur, dinamika termasuk masa tenang, konflik dan rekonsiliasi. Ada dialog para lakon. Kata-kata tiruan suara/ bunyi hewan atau benda. Dan yang tidak kalah penting, ada hikmah yang bisa diambil.Wabah masih panjang. Keluarga harus punya stok motivasi yang memadai. Karena itu, sebagai pemimpin di keluarga penting untuk mengasah kemampuan bercerita (untuk melengkapi keterampilan mendengarkan).
Kalau bukan kita (yang memotivasi keluarga sendiri), (trus mau berharap pada) siapa?