“Lelah kami mengingatkan orang-orang [agar pakai masker]. Sekarang, terserahlah! Cape!”
Perasaan semacam ini menyebar di kalangan edukator warga. Tenaga kesehatan, relawan, maupun kader. Bisa dipahami, karena makin kemari, makin banyak yang tak peduli. Ini pula yang menjelaskan kasus positif semakin tinggi.
Bersama edukator yang merasa lelah, saya suka berdialog.
“Sebetulnya, apa imbalan yang Anda harapkan dari mengedukasi warga? Ketenaran? Bayaran? Ikhlas?”
“Ikhlas, dong!“
“Tuhan yang balas!”
“Kalau berharap balasan, rasanya Tuhan tidak memberi pahala berdasarkan keberhasilan Anda merubah perilaku orang lho.”
“Maksudnya?”
“Iya, Tuhan tidak memberi pahala berdasarkan apakah Anda berhasil atau tidak merubah perilaku orang.”
“Kok, begitu?”
“Pertama, orang berubah atau tidak, bukan di tangan Anda. Tuhan yang menentukan. Sombong sekali kita kalau merasa telah merubah perilaku orang.”
“Iya juga, sih.”
“Nabi saja tugasnya hanya menyampaikan pesan dengan terang. Perkara orang beriman atau tidak. Masuk neraka atau surga, bukan tanggung jawab nabi.”
“Iya, saya pernah baca ayat-ayatnya.”
“Karena itu, Tuhan hanya melihat upaya komunikasi kita. Jadi, pahala atau balasan yang akan didapat hanya didasarkan pada seberapa sering dan kreaktif upaya komunikasi kita.”
“Hmmm, iya ya.”
“Lalu kenapa kita membiarkan diri merasa lelah karena orang tidak mau berubah. Kalau kita ingin pahala, balasan baik dari Tuhan, yang kita lakukan adalah berkomunikasilah terus. Edukasi orang-orang. Dari sini sumber pahala. Tidak usah pikirkan orang mau berubah atau tidak karena bukan urusan kita dan tidak dihitung pula.”
“Iya, juga ya?”
“Jadi, santai aja. Komunikasi semampunya dengan rileks dan kreatif. Karena di sini letak ladang pahalanya.”