Sebelum berkomunikasi tentang masker kita perlu tahu siapa yang diajak bicara. Bagaimana pengetahuan atau sikap mereka? Supaya nanti komunikasinya nyambung dan pesan bisa diterima.
Cerita-cerita relawan dan tenaga kesehatan ditambah ngobrol dengan sejumlah orang, sementara ini, didapat 3 kelompok dengan kadar masalah komunikasi (sebab tidak pakai masker) yang berbeda.
1. Kadar ringan. Mereka yang belum pakai masker karena tidak tahu fungsinya; tidak tahu cara penularan viruscorona. Ada juga yang sekedar ikut-ikutan tidak masker. Awalnya banyak tapi saat ini semakin mengecil. Mereka masih terbuka pada pesan pencegahan COVID-19.
2. Kadar sedang. Mereka merasa tidak ada ancaman viruscorona. Daerahnya bebas virus. Menganggap COVID-19 penyakit orang kota atau orang lain di luar mereka. Bersikap terlalu positif, merasa tidak akan kena virus corona. Jumlahnya kian hari kian banyak.
3. Kadar tinggi. Mereka yang menganggap COVID-19 sebagai rekaan. Tenaga kesehatan cari uang. Tipu daya bisnis. Konspirasi. Sebagian bahkan bersikap benci dan ofensif, seperti mengolok-olok sampai menolak orang yang pakai masker. Ada relawan di daerah Indonesia timur bercerita dia tidak memakai masker saat mendatangi kampung untuk layanan imunisasi.
“Kalau pakai masker, warga tidak terima. Mereka akan bilang, hei kami tidak percaya Tuhan? Tidak beriman?!”
Jumlahnya memang belum banyak tapi kelihatannya berkembang.
Pengelompokkan di atas mungkin tidak presisi benar tapi setidaknya memberi panduan untuk taktik berkomunikasi. Yang kadar ringan masalahnya lebih di pengetahuan, karena itu, model langsung bisa dilakukan. Sapa lalu sampaikan pesan. Atau ngobrol sebentar untuk membangun hubungan dan membuka “pagar” orang lalu sampaikan pesan-pesan pencegahan COVID-19. Di sini komunikator perlu pelajari kira-kira apa yang belum dipahami. Sebagai standar, orang harus mengetahui setidaknya 5 aspek,
1) Akibat COVID-19 pada tubuh dan kelompok yang mengalami sakit parah (lansia dan orang yang memiliki penyakit bawaan seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes, ginjal, asma dll.),
2) Cara-cara penularan, yaitu via percikan saat orang bicara (tekanan bicara, bukan hanya batuk atau bersin) yang terhirup langsung karena berdekatan atau berada di ruanga tertutup atau menyentuh benda yang disentuh tangan lalu masuk via mata, hidung, mulut;
3) OTG (Orang Tanpa Gejala) yaitu orang sehat tapi bervirus,
4) Cara pencegahan yang terkait dengan cara penularan (supaya tidak menghirup virus: jaga jarak, pakai masker, buka jendela/ ventilasi udara; supaya virus di tangan tidak masuk tubuh: cuci tangan pakai sabun; supaya virus yang kadung masuk bisa dikalahkan tubuh: tingkatkan kekebalan tubuh dengan istirahat cukup, perbanyak makan sayur buah, olahraga, berjemur dan banyak berdoa)
5) Penyakit baru yang masih dipelajari ahli sehingga bisa muncul cara-cara baru untuk mencegah virus.
Untuk kelompok kadar sedang dan tinggi, taktiknya bisa dengan
1) Berdialog (membangun hubungan lebih kuat, mendengarkan dan memahami lebih tulus dll.),
2) Edutainment (education entertainment) misalnya dengan hal-hal yang menghibur, lucu, menyenangkan. Ibaratnya: anak benci obat, suka roti. Maka, beri roti berisi obat. Dikampung, boleh kasih joged sambil masukkan pesan-pesan.) dan
3) Social networks (jangan kita yang maju. Pelajari, siapa yang dihargai? Siapa yang diikuti? Ajak mereka membantu kita).
Singkat dulu. Nanti kita detailkan satu per satu. Terimakasih.
