Bertanya, bersamaan dengan mendengarkan adalah paket penting untuk membangun hubungan, saling pengertian dan kerjasama. Syaratnya, bertanya dilakukan untuk harus satu paket dengan mendengarkan.
Misalnya, pagi-pagi berjumpa tetangga,
“Eh, sudah sembuh, bang Idrus?”
Lalu, tetangga menceritakan kondisinya saat ini dan perjuangan sembuhnya dua minggu terakhir. Kita menyimak cerita tetangga dengan melempar pertanyaan-pertanyaan pendek dari pernyataan-pernyataan sebelumnya untuk menyambungkan atau membantunya menggambarkan lebih lanjut.
“Badan bagaimana?”
“Remuk kaya ditabrak bis?”
“Obatnya?”
Karena penting, mestinya jangan disalahgunakan. Apalagi untuk basa-basi.
Basa-basi?
Betul ada orang bertanya sekedar membuka pembicaraan lalu dia sendiri yang mendominasi percakapan. Atau bertanya sekedar rutinitas tanpa maksud apa-apa.
Sales asuransi sering itu bertanya bukan untuk mendengarkan cerita kita. Tapi untuk membuka keran air bah pesan-pesan dia. Atau lebih parah, mematahkan cerita kita.
“Kalau boleh tahu, investasi pak Budi apa saja ya?”
“…….”
“Wah, ini ada investasi yang punya kelebihan dibandingkan yang pak Budi. Lebih aman dan besar hasilnya.”
Bertanya sekedar rutin suka dipraktikkan orang tua saat menjumpai anaknya pulang sekolah.
“Gimana sekolah?”
Bertanya sekedar bertanya. Keduanya sama-sama tidak berniat mendengarkan cerita orang yang ditanya. Apa akibatnya?
Yang ditanya akhirnya jadi tahu untuk apa dia ditanya. Jawabnya pun jadi ngasal, tidak serius. Karena dia pun tidak berharap didengarkan.
“Gimana sekolah?”
“Baik, Ma”
Baik padahal belum tentu baik. Bisa saja ada masalah. Ada pengalaman buruk. Atau sebaliknya, pengalaman yang menarik. Tapi karena basa-basi kan jawabnya jadi basa-basi juga.