Jangan-jangan kampanye masker saat ini jaka sembung bawa golok alias ga nyambung nih, mpok.
Kesan ini mulai didapat beberapa bulan lalu ketika sejumlah relawan dan nakes melaporkan “masalah komunikasi” dari orang yang tidak pakai masker seperti “Orang merasa kondisi sudah aman”, “Corona sudah tidak ada”, “Tidak percaya ada corona”, “Corona hanya di kota saja” sampai “(Virus corona) hanya bisa-bisanya orang kesehatan saja”.
Kemarin waktu mengisi sesi belajar mahasiswa KKN Refcon di bawah Kemendikbud, panitia yang dimotori para penggiat kampus belum-belum sudah bercerita kendala yang dihadapi, “Sulit mengedukasi masyarakat, banyak yang menolak. Kebanyakan masyarakat tidak percaya covid. Baru mau diedukasi, masyarakatnya sudah menolak.”
Saya tidak tahu sejauh mana cerita itu mewakili 15 ribu mahasiswa yang mereka sedang kelola tapi kalau itu jadi satu-satunya brief bagi narasumber, berarti serius.
Jadi jangan-jangan terjadi jaka sembung bawa golok.
Seperti kisah di tahun 2000an, kampanye penggantian minyak tanah dengan LPG 3 kg.
Di awal banyak warga enggan beralih ke LPG karena takut akan keamanannya. “Meleduk ga?”; “Aman ga?”
Sementara, pemerintah dengan pede mengatakan
“LPG itu lebih efisien. Kalau dihitung mingguan, jatuhnya lebih murah dari minyak tanah.”
“Ini adalah bahan bakar ramah lingkungan.”
Communication breakdown alias Jaka Sembung bawa golok. Tidak nyambung.
Pada akhirnya warga beralih karena memang minyak tanah langka dan lambat laun menghilang di pasaran.
Dalam kasus LPG, perubahan perilaku ditentukan pilihan terbatas.
Tapi jelas kasus masker beda. Pilihan ada di tangan masyarakat. Mau pakai atau ga, warga secara individual yang menentukan.
Kampanye masker dikatakan tidak nyambung karena pesan tidak nyambung dengan persepsi warga yang tidak memakai masker.
Di satu pihak disampaikan “Pakailah masker saat keluar rumah”, “Masker melindungi dari penularan virus corona”, “Masker melindungi kamu dan aku” dan lain-lain.
Di lain pihak, khalayak berbeda pemikirannya, “Virus corona tidak ada”.
Tidak nyambung, kan?
Supaya nyambung antara komunikator dan komunikan saya pernah usul. Ceritanya beberapa bulan lalu saya ikut-ikutan rapat dengan orang-orang yang segrup dengan Tim Pakar yang ngurusin virus corona.
Saya sampaikan ide dalam power point agar di sejumlah kota, khususnya yang ada universitas, membentuk tim kecil pemantau dinamika isu komunikasi di masyarakat. Tidak perlu tim besar, cukup beberapa orang saja. Tugas mereka secara berkala, misalnya dua mingguan, mengamati, ngobrol dan melaporkan dinamika sikap dan persepsi warga terkait perilaku-perilaku pencegahan COVID-19, khususnya jaga jarak dan pakai masker.
Bukan survei kuantitatif tapi lebih kualitatif, karena digunakan sebagai masukan untuk pengembangan pesan-pesan kampanye.
Mungkin karena kurang ilmiah, respon yang saya dapatkan justru pertanyaan. “Bisa kami dapatkan referensi-referensi untuk ide ini?”
Jadi ingat jaman-jaman muda saat berusaha keras jadi penulis Kompas. Puluhan atau mungkin lebih dari seratus artikel dikirim dan 4 lolos dimuat. Itu pun bukan tulisan saya. Nama penulis sih saya, tapi tulisannya hanya merangkai pendapat-pendapat orang-orang lain. Tidak ada opini saya sendiri. Yang ide orisinil saya sendiri, selalu ditolak dengan surat penolakan yang sama.
Ya wis, saya pikir. Dunianya mungkin berbeda.
Saya lanjut saja meminta dan mendengarkan cerita relawan-relawan atau nakes yang ada di lapangan. Dari sini pun bisa dirumuskan teknik-teknik komunikasi yang sesuai. Kita berbuat dari yang tersedia saja.