09 Juli 2018 - MTsN 25 Jakarta Timur
Pelatihan Guru Fasilitator Angkatan V, Lapangan Kecil & IGI
03 Juli 2018 - Hotel Bidakara, Jakarta
WNPG (Widyakarya Pangan Gizi Nasional) XI 2018, LIPI Kemenkes
28 Juni 2018 - Hotel Park Lane, Jakarta
Finalisasi Pedoman Penganan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana, Direktorat Gizi Kemenkes
06 Juni 2018 - Waingapu, Sumba Timur
Pelatihan Aksi Berantas Malaria, Perdhaki
05 April 2018 - Aston Hotel, Bogor
Membangun kedekatan dalam organisasi BRG,
21 Maret 2018 - Hotel Ibis, Menteng Jakarta
Sharing Non-maintsream Behavioral Change Communication, Vitamin Angels
29 Januari 2018 - Jakarta
Ujicoba Pedoman Gizi Seimbang Kelompok Anak Usia Sekolah & Remaja, GAIN
24 Januari 2018 - Melrimba, Puncak, Cianjur
Membangun Keakraban dalam Komunitas Kelurahan, Kelurahan Bojongsari Depok
Saat jalan kaki pulang sehabis olah raga pagi kami bertemu tukang bubur kacang hijau. Si bapak yang selalu pakai topi itu sudah puluhan tahun berdagang di Condet. Kami sering beli buburnya, tapi baru pagi ini ada waktu ngobrol agak lebih lama.
Ceritanya dulu dia menetap di Muara Baru, tapi rumahnya digusur untuk jalan. “Pikir-pikir, di mana ya bisa dapat rumah lagi…yang agak luasan gitu,” cerita si Bapak.
Karena dulu Condet itu pelosoknya Jakarta dan harga tanahnya juga “cuma” 12.500 rupiah per meter, maka belilah si Bapak sepetak tanah berukuran 150 meter di Condet di daerah Batu Ampar.
“Wah, 150 meter di Condet sekarang lumayan tuh, Pak”, timpal Winnie, istri saya yang pagi itu bersama-sama berolahraga.
Tertarik dengan kehidupan si Bapak, Winnie bertanya lebih lanjut, “Keluarga di Condet juga, Pak?”
“Iya, di sini semua. Anak empat, sudah besar-besar,” jawabnya.
“Sudah kerja semua anaknya, pak?” tanya Winnie
“Yang tiga sudah kerja. Tinggal satu lagi masih semester 3,” kata si Bapak yang anaknya kuliah di kampus yang reputasinya cukup bagus.
“Wah hebat. Anak bapak semuanya kuliah ya?” tanya Winnie lebih lanjut.
“Iya, Alhamdulillah, cuma itu yang bisa saya kasih ke anak-anak,” ungkapnya.
Si Bapak kemudian bercerita tentang anak-anaknya yang perawat, yang kerja di rumah sakit swasta terkenal. Juga yang sarjana elektronik, yang bekerja di perusahaan Jepang.
Walau obrolannya singkat, selama waktu menyiapkan 4 bungkus bubur, bayar ditambah beberapa menit., kami merasa senang mendapat obrolan itu. Sepanjang jalan kaki ke rumah, terlontar beberapa kalimat-kalimat kagum, seperti hebat si Bapak itu! Seneng banget orang tua yang anak-anaknya jadi! dan kalimat-kalimat positif lainnya.
Penggalan pagi Ini mengingatkan saya atas latihan yang sering dibuat kawan-kawan Lapangan Kecil tentang percakapan yang menggunakan pendekatan apresiatif. Berpasangan saling bercerita dan mendengarkan tentang pengalaman yang mengesankan, yang dipandang sebagai pencapaian tertinggi, yang kalau mengingat-ingat, membuat semangat bangkit kembali. Kemudian pasangan-pasangan itu membentuk kelompok berisi 3-4 pasangan, lalu setiap orang bercerita tentang pengalaman pasangannya sambil yang lain mendengarkan secara aktif.
Di setiap akhir sessi, kami selalu bertanya, bagaimana perasaan kita saat ini? Jawabannya kebanyakan, Senang! Sermangat!
Prinsip timbal balik berlaku. Mereka yang mendengarkan, akan didengarkan. Membuka diri, orang lain menjadi terbuka. Memberi perhatian, mendapat perhatian. Memberi kegembiraan, mendapat kegembiraan. Sehingga, pada dasarnya, menjadi fasilitator bukan hanya “membantu” orang lain. Namun juga, membantu dirinya sendiri. Risang Rimbatmaja