09 Juli 2018 - MTsN 25 Jakarta Timur
Pelatihan Guru Fasilitator Angkatan V, Lapangan Kecil & IGI
03 Juli 2018 - Hotel Bidakara, Jakarta
WNPG (Widyakarya Pangan Gizi Nasional) XI 2018, LIPI Kemenkes
28 Juni 2018 - Hotel Park Lane, Jakarta
Finalisasi Pedoman Penganan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana, Direktorat Gizi Kemenkes
06 Juni 2018 - Waingapu, Sumba Timur
Pelatihan Aksi Berantas Malaria, Perdhaki
05 April 2018 - Aston Hotel, Bogor
Membangun kedekatan dalam organisasi BRG,
21 Maret 2018 - Hotel Ibis, Menteng Jakarta
Sharing Non-maintsream Behavioral Change Communication, Vitamin Angels
29 Januari 2018 - Jakarta
Ujicoba Pedoman Gizi Seimbang Kelompok Anak Usia Sekolah & Remaja, GAIN
24 Januari 2018 - Melrimba, Puncak, Cianjur
Membangun Keakraban dalam Komunitas Kelurahan, Kelurahan Bojongsari Depok
Dalam beberapa bulan terakhir Lapangan Kecil memiliki agenda baru, belajar fasilitasi bersama KoAs atau yang sekarang dipanggil Dokter Muda. Bertempat di FK Universitas Atmajaya, sessi belajar bersama ini akan dibuat rutin per lima minggu dalam rangka mempersiapkan dokter-dokter muda dalam mengerjakan projek kemasyarakatan.
Kok dokter belajar teknik-teknik fasilitasi? Mengapa dokter yang bergelut dengan penyakit dan penyembuhan perlu belajar teknik fasilitasi?
Sekilas memang terlihat tidak ada hubungan antara profesi dokter dan teknik fasilitasi. Tapi, tentu kita tahu, dengan siapa dokter berhubungan, yakni warga.
Di rumah sakit atau klinik mereka berinteraksi dengan pasien atau keluarga pengantarnya. Di masyarakat, mereka juga berinteraksi dengan warga. Dalam mendiagnosis mereka bertanya. Mereka juga perlu memberi saran dan motivasi untuk kesembuhan pasiennya. Bayangkan bila dokter hanya seperti robot. Hanya duduk, menulis resep tanpa interaksi yang manusiawi.
Jadi, pada dasarnya kebutuhan keterampilan fasilitasi terkait dengan interaksi antar-manusia yang produktif.
Berbicara dengan interaksi antar-manusia, penulis teringat pengalaman meneliti di sekitar tahun 2007 tentang masalah ILI (Influenza Like-Illness) di beberapa lokasi di Indonesia. Satu isu yang dipelajari adalah mengapa satu klinik ramai didatangi warga (yang merasa sakit flu), sementara klinik lain kurang pasiennya. Pembelajaran pentingnya adalah, itu ditentukan oleh kualitas si dokter sendiri, khususnya kualitas dalam berinteraksi.
Dari kaca mata warga, dokter yang baik adalah dokter yang mendengarkan mereka, bisa berempati, memberi sentuhan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat, memanggil nama mereka dan lain-lain, yang sebetulnya menjadi prinsip-prinsip seni fasilitasi. Di sinilah pentingnya penguasaan teknik-teknik fasilitasi untuk membantu interaksi dengan pasien atau keluarga si pasien.
Rasanya kita semua mendambakan semua dokter Indonesia itu penuh senyum, ramah, sabar dan hangat. Bagi sebagian orang, itu saja adalah sudah sebagian dari proses penyembuhan. (Risang Rimbatmaja)